Sejarah Singkat Gereja Toraja
GEREJA TORAJA adalah hasil kegiatan pekabaran injil misionaris Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd Gereformeerde Zendingsbond-GZB .Pdt. A.A. van de Loosdrecht menjadi misionaris pertama yangtiba di Rantepao pada 7November 1913.Namun, tragis kehidupannya karena Ia terbunu
di tempat itu.Injil berkembang pesat hingga tahun 1938 telah terdapat 14.000 orang Kristen dari 300.000penduduk Toraja . Pada 25 Maret1947, jemaat-jemaat sepakat membentuk suatu organisasi gereja yang bernama GerejaToraja dalam sidang Majelis Am yang pertama di Rantepao. Gereja ini menjadi anggota PGI padatahun 1950.Misi Gereja Toraja adalah bersekutu, bersaksi, dan melayani yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pelayanan gerejawi.Gereja ini berbentuk Presbiterial Sinoda yang berarti pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh parapresbiteroi (penatua, pendeta, dan diaken) dalam suatu jemaat dengan keterikatan dan ketaataan dalam lingkup yang lebih luas(klasis dan sinode)Pada masa pemberontakan DI/TIIKahar Muzakar , banyak anggota jemaat Gereja Toraja yangterbunuh. Menurut data Tahun2000, anggota jemaatnya sebanyak 375.000 orang. Kantor Pusat Gereja Toraja terletak di
Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Gereja Toraja juga tersebar di luar Toraja, sepertiMakassar, Palu, Surabaya, Jakarta,dan kota lainnya.Penjelasan Logo Gereja Toraja Logo Gereja Toraja dengan Ayat1
Kor.3:11 merupakan dasar perkembangan Gereja Toraja dimana Alkitab dan Yesus adalah Pedoman Tunggal didalam Perkembangan dan Pelayanan Gereja Toraja.
A. Latar Belakang Gereja Toraja
1. Sejarah Gereja Toraja
Cikal bakal Gereja Toraja berawal dari benih injil yang ditaburkan oleh guru-guru sekolah Landschap (anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia), yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa. Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus, terjadilah pembaptisan yang pertama pada tanggal 16 Maret 1913 kepada 20 orang murid sekolah Lanschap di Makale oleh Hulpprediker F. Kelleng dari Bontain. Pemberitaan injil kemudian di lanjutkan secara intensif oleh Gereformerde Zendingsbond (GZB) yang datang ke Tana Toraja sejak 10 Nopember 1913.
GZB adalah sebuah badan zending yang
didirikan oleh anggota-anggota Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) yang
m,enganut paham gereformeerd. GZB berlatarbelakang pietis, dalam arti
sangat mementingkan kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil
yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB
selama kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham teologi GZB yang pietis
itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja sampai saat
ini.
Pada tahun 1947 terjadilah babak baru
dalam sejarah penginjilan di kalangan masyarakat Toraja. tepatnya pada
tanggal 25 – 28 Maret 1947 diadakanlah persidangan Sinode I di
Rantepao yang dihadiri oleh 35 utusan dari 18 Klasis.
Sidang Sinode I ini memutuskan bahwa
orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan berdiri
sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama Gereja Toraja.
Dalam rangka membina persekutuan, kesaksian dan pelayanannya sejak
berdiri sendiri Gereja Toraja telah mengalami banyak pergumulan, baik
yang berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun yang
berasal dari luar (farktor eksternal). Pergumulan internal yang cukup
menonjol segera mencuat ke permukaan yaitu kurangnya tenaga pelayan
(SDM) yang memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk
mampu melayani dan membina warga gereja yang mulai bertumbuh serta
mulai menyebar ke luar wilayah Tana Toraja. Masalah lain yang cukup
menantang ialah bagaimana sikap Gereja Toraja yang benar, baik dan
tepat terhadap adat-istiadat dan kebudayaan Toraja.
Tantangan eksternal yang segera dihadapi
Gereja Toraja yang relatif masih muda dan serba terbatas itu antara
lain adanya pergolakan DI/TII. Pada saat itu warga Gereja Toraja cukup
menghadapi tantangan disatu pihak, dipihak lain pertumbuhan jumlah
anggota Gereja Toraja cukup drastis. Tetapi karena kurangnya tenaga
pelayan, maka banyak orang Toraja yang menjadi Kristen tidak terbina
sebelumnya dan kurang terlayani secara baik sesudah menjadi anggota
Gereja Toraja. Akibatnya kualitas iman Kristiani menjadi
memprihatinkan. Masalah lain turut mempengaruhi pertumbuhan Gereja
Toraja adalah bertumbuhkembangnya ajaran komunisme yang memuncak pada
peristiwa G30S/PKI di Indonesia. Ketika itu sebagian warga Gereja yang
memiliki kadar iman yang tidak cukup kuat dengan mudah terseret oleh
bujukan PKI tanpa mengetahui apa itu PKI dan apa tujuannya. Sementara
di zaman Orde Baru, di satu pihak perkembangan Gereja Toraja secara
kuantitatif dan penyebaran wilayah pelayanan cukup besar.
Tetapi dilain pihak,warga Gereja Toraja
sebagai bagian integral dari masyarakat dan bangsa Indonesia ikut
tertulari oleh berbagai penyakit social saat itu. Salah satu masalah
besar yang dialami masyarakat Indonesia di era Orde Baru adalah
terjadinya kesenjangan social ekonomi antar masyarakat Indonesia.
Keadaan ini berdampak pula bagi pertumbuhan Gereja Toraja yang tidak
merata disegala bidang. Akibatnya warga gereja dan wilayah pelayanan
Gereja Toraja sangat bervariasi. Sebagian besar warga Gereja Toraja
masih hidup dalam kemiskinan, namun ada pula yang telah sejahtera dan
mapan ekonominya. Dari sudut wilayah pelayanan, sebagian besar berada
di pelosok-pelosok yang masih sulit dijangkau dan menghadapi
masyarakat yang relatif homogen, namun sudah ada pula yang berada di
kota metropolitan yang maju dan modern serta bergaul dengan masyarakat
majemuk di berbagai bidang.
Variasi ini melahirkan pula perbedaan
kepentingan dan kebutuhan, sebab pola pikir, wawasan dan pola hidup
merekapun berbeda. Keadaan ini pada gilirannya cukup mempengaruhi
efektifitas dan efisiensi pelayanan Gereja Toraja. Hal lain yang perlu
pula disinggung disini ialah masyarakat Indonesia telah menjadi amat
pragmatis dan materialistis. Keadaan ini mau tidak mau berpengaruh
pula kepada warga Gereja Toraja. Ketika orang telah menjadi
materialistis, maka materi menjadi ukuran kesuksesan dan keberhasilan
seseorang. Sifat ini selanjutnya akan melahirkan sikap yang
menghalalkan segala cara untuk memperoleh materi dengan segala dampak
dan konsekuensinya. Tentu masih banyak lagi faktor lain baik internal
maupun eksternal yang turut mempengaruhi perjalanan Gereja Toraja pada
masa lampau, namun tidak dapat diuraikan secara lengkap. Faktor-faktor
yang dikemukakan di atas hanyalah yang dianggap paling signifikan
mempengaruhi perkembangan Gereja Toraja pada masa lampau sehingga Gereja
Toraja ada sebagaimana ia ada pada saat ini.
2. Bentuk Gereja Toraja
Gereja Toraja dalam menata
kelembagaan sebagai alat pelayanan menerapkan bentuk struktur pelayanan
Presbiterial Sinodal, dengan pengertian yaitu :
Bentuk Presbiterial, adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, dan Syamas ) dalam satu jemaat.
Bentuk Sinodal ( Sinode artinya berjalan bersama) diwujudkan dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan oleh Majelis Gereja dari seluruh Jemaat yang berhimpun bersama-sama secara berjenjang mulai dari Klasis, Sinode Wilayah sampai Sinode Am; yang sebagian kewenangannya dimandatkan kepada badan-badan pelaksana yang diangkat dalam masing-masing persidangan yang bersangkutan.
Jadi bentuk Presbiterial Sinodal adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) dalam satu jemaat, dengan keterikatan dan ketaatan kepada kebersama-samaan dengan para presbiteroi dalam lingkup yang lebih luas (Klasis, Sinode Wilayah, Sinode Am)
B. Analisis Medan PelayananBentuk Presbiterial, adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, dan Syamas ) dalam satu jemaat.
Bentuk Sinodal ( Sinode artinya berjalan bersama) diwujudkan dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan oleh Majelis Gereja dari seluruh Jemaat yang berhimpun bersama-sama secara berjenjang mulai dari Klasis, Sinode Wilayah sampai Sinode Am; yang sebagian kewenangannya dimandatkan kepada badan-badan pelaksana yang diangkat dalam masing-masing persidangan yang bersangkutan.
Jadi bentuk Presbiterial Sinodal adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) dalam satu jemaat, dengan keterikatan dan ketaatan kepada kebersama-samaan dengan para presbiteroi dalam lingkup yang lebih luas (Klasis, Sinode Wilayah, Sinode Am)
Setiap kelembagaan dapat
mempertahankan eksistensinya apabila setia dan mampu menjalankan visi dan misi
oraganisasinya secara konsisten, berkesinambungan, dinamis serta relevan dengan
kebutuhan lingkungan dan jamannya. Dalam kerangka pemahaman tersebut Gereja
Toraja sebagai sebuah lembaga harus memiliki kemampuan untuk tanggap dan
adaptif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dirinya dan
lingkungan strategis di sekitarnya.
Untuk itu, sebagai sebuah organisasi maka Gereja Toraja harus melakukan analisis dan identifikasi problematika dan tantangan lingkungan disekitarnya untuk menentukan perencanaan selanjutnya bagi pencapaian tujuan secara utuh. Dengan begitu maka Gereja Toraja mampu bergerak secara proaktif untuk memberikan respon pelayanan terhadap realitas kekinian yang berlangsung disekelilingnya sebagai tanggung jawab iman yang harus ditunaikan. 1. Kondisi Kekinian.
• Internal :
Bentuk kelembagaan Gereja Toraja menerapkan sistem Presbiterial Sinodal yang terdiri dari 4 (empat) Wilayah yang membawahi 74 Klasis, 797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian yang tersebar dibeberapa propinsi di Pulau Sulawesi, Kalimantan dan Jawa. Kondisi medan pelayanan dengan letak geografis yang berbeda tersebut secara otomatis menggambarkan keragaman dan perbedaan potensi dari masing masing wilayah pelayanan. Perbedaan potensi dari setiap wilayah pelayanan yang ada niscaya membutuhkan management (pengelolaan) yang kuat dan optimal, dengan tetap mempertimbangkan karakteristik masing-masing medan pelayanan.
Bentuk Presbiterial Sinodal yang dianut Gereja Toraja diterapkan dengan pendekatan manajemen pengwilayahan pelayanan dalam rantai hirarkhi organisasi mulai dari tingkat Sinode Pusat, Wilayah, Klasis dan Jemaat. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengkoordinasian dan pendistribusian pelayanan secara terpadu kepada seluruh jemaat-jemaat dalam lingkup Gereja Toraja. Pilihan format pengorganisasian dengan rantai kelembagaan seperti ini sangat cocok diterapkan pada masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Gereja Toraja hingga decade tahun 90-an. Kini dengan perkembangan modernisasi yang menuntut kecep atan dan ketepatan serta semakin memudarnya batas-batas ruang dan wilayah akibat akselerasi teknologi di bidang komunikasi, informasi dan transportasi maka pilihan pengorganisasian dengan pendekatan yang ada sekarang ini ( Sinode Pusat, Wilayah, Klasis, Jemaat) dirasakan tidak lagi efektif dan efisien, malah semakin mengarah pada in-efisiensi Sumber daya dan dana serta terkesan birokratis dan lamban dalam merespon berbagai kebutuhan kekinian di medan pelayanan.
Pada sisi fungsionaris pelayan / presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) juga perlu mendapat perhatian khususnya keberadaan tenaga Pendeta yang prosentasenya belum seimbang jika dibandingkan dengan kebutuhan jemaat dalam seluruh lingkup pelayanan Gereja Toraja. Jumlah Pendeta yang ada saat ini sekitar 500 orang dengan perbandingan 797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan. Selain itu, hal yang cukup mendasar yang menjadi masalah adalah adanya kesenjangan potensi antar jemaat/wilayah pelayanan. Pada wilayah tertentu misalnya wilayah IV yang umumnya tersebar di daerah perkotaan memiliki potensi Sumber Daya yang mampu menjawab kebutuhan pelayanan wilayah yang bersangkutan, sementara pada wilayah pelayanan yang terletak di daerah pelosok dan pedesaan umumnya masih mengalami kendala diseputar Sumber Daya untuk menjawab kebutuhan pelayanan diwilayah tersebut. Keberadaan Penatua dan Syamas dimasing masing wilayah juga mengalami kesenjangan kualitas SDM sehingga hal tersebut sangat berimplikasi pada kualitas persekutuan, pelayanan dan kesaksian pada masing-masing wilayah (klasis dan jemaat).
Untuk itu, sebagai sebuah organisasi maka Gereja Toraja harus melakukan analisis dan identifikasi problematika dan tantangan lingkungan disekitarnya untuk menentukan perencanaan selanjutnya bagi pencapaian tujuan secara utuh. Dengan begitu maka Gereja Toraja mampu bergerak secara proaktif untuk memberikan respon pelayanan terhadap realitas kekinian yang berlangsung disekelilingnya sebagai tanggung jawab iman yang harus ditunaikan. 1. Kondisi Kekinian.
• Internal :
Bentuk kelembagaan Gereja Toraja menerapkan sistem Presbiterial Sinodal yang terdiri dari 4 (empat) Wilayah yang membawahi 74 Klasis, 797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian yang tersebar dibeberapa propinsi di Pulau Sulawesi, Kalimantan dan Jawa. Kondisi medan pelayanan dengan letak geografis yang berbeda tersebut secara otomatis menggambarkan keragaman dan perbedaan potensi dari masing masing wilayah pelayanan. Perbedaan potensi dari setiap wilayah pelayanan yang ada niscaya membutuhkan management (pengelolaan) yang kuat dan optimal, dengan tetap mempertimbangkan karakteristik masing-masing medan pelayanan.
Bentuk Presbiterial Sinodal yang dianut Gereja Toraja diterapkan dengan pendekatan manajemen pengwilayahan pelayanan dalam rantai hirarkhi organisasi mulai dari tingkat Sinode Pusat, Wilayah, Klasis dan Jemaat. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengkoordinasian dan pendistribusian pelayanan secara terpadu kepada seluruh jemaat-jemaat dalam lingkup Gereja Toraja. Pilihan format pengorganisasian dengan rantai kelembagaan seperti ini sangat cocok diterapkan pada masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Gereja Toraja hingga decade tahun 90-an. Kini dengan perkembangan modernisasi yang menuntut kecep atan dan ketepatan serta semakin memudarnya batas-batas ruang dan wilayah akibat akselerasi teknologi di bidang komunikasi, informasi dan transportasi maka pilihan pengorganisasian dengan pendekatan yang ada sekarang ini ( Sinode Pusat, Wilayah, Klasis, Jemaat) dirasakan tidak lagi efektif dan efisien, malah semakin mengarah pada in-efisiensi Sumber daya dan dana serta terkesan birokratis dan lamban dalam merespon berbagai kebutuhan kekinian di medan pelayanan.
Pada sisi fungsionaris pelayan / presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) juga perlu mendapat perhatian khususnya keberadaan tenaga Pendeta yang prosentasenya belum seimbang jika dibandingkan dengan kebutuhan jemaat dalam seluruh lingkup pelayanan Gereja Toraja. Jumlah Pendeta yang ada saat ini sekitar 500 orang dengan perbandingan 797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan. Selain itu, hal yang cukup mendasar yang menjadi masalah adalah adanya kesenjangan potensi antar jemaat/wilayah pelayanan. Pada wilayah tertentu misalnya wilayah IV yang umumnya tersebar di daerah perkotaan memiliki potensi Sumber Daya yang mampu menjawab kebutuhan pelayanan wilayah yang bersangkutan, sementara pada wilayah pelayanan yang terletak di daerah pelosok dan pedesaan umumnya masih mengalami kendala diseputar Sumber Daya untuk menjawab kebutuhan pelayanan diwilayah tersebut. Keberadaan Penatua dan Syamas dimasing masing wilayah juga mengalami kesenjangan kualitas SDM sehingga hal tersebut sangat berimplikasi pada kualitas persekutuan, pelayanan dan kesaksian pada masing-masing wilayah (klasis dan jemaat).
Dibidang sarana dan prasarana yang
merupakan asset pendukung persekutuan, pelayanan dan kesaksian membutuhkan
peningkatan kapasitas baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu
dibutuhkan upaya peningkatan profesionalisme para pengelola dan pekerja pada
masing-masing unit yang bersangkutan seperti : tenaga kesehatan
(dokter/perawat) untuk 2 buah Rumah Sakit GT, tenaga guru/dosen untuk 44
sekolah dan 2 buah Perguruan Tinggi GT, tenaga pengelola untuk Lembaga
Pelayanan Sosial GT, selain itu dibutuhkan modernisasi system, teknik, dan
perangkat operasional pelayan melalui penggunaan teknologi komunikasi dan
informasi.